Nasi Jamblang Lezat di Cirebon
Rasanya ada yang kurang bila datang ke kota Cirebon tanpa mencicipi
nasi jamblang. Saat memasuki kota itu, dengan mudah kita bisa temui
jajaran warung yang menjual nasi yang dibungkus dengan daun jati itu. Berdasarkan
data dari buku kuliner khas Cirebon, ada sekitar 300 penjual nasi atau
sega jamblang, baik yang mangkal (warung) maupun yang dijajakan
keliling. Nama Jamblang berasal dari nama daerah di sebelah barat kota
Cirebon tempat asal pedagang makanan ini. Ciri khas makanan ini adalah
penggunaan daun jati sebagai bungkus nasi. Makanan disajikan secara
prasmanan.
Menu yang tersedia antara lain sambal goreng (yang agak
manis), tahu sayur, paru, semur hati atau daging, perkedel, sate
kentang, telur dadar/telur goreng, telur masak sambal goreng, semur
ikan, ikan asin, tahu dan tempe serta tidak ketinggalan ‘blakutak’,
sejenis cumi-cumi yang dimasak bersama tintanya.
Awalnya nasi
jamblang ini dibuat untuk para pekerja paksa di zaman Belanda yang
sedang membangun jalan raya Daendels dari Anyer ke Panarukan yang
melewati wilayah Kabupaten Cirebon, tepatnya di Desa Kasugengan. Sega
Jamblang saat itu dibungkus dengan daun jati, mengingat bila dibungkus
dengan daun pisang kurang tahan lama sedangkan dengan daun jati bisa
tahan lama dan tetap terasa pulen. Hal ini karena daun jati memiliki
pori-pori yang membantu nasi tetap terjaga kualitasnya meskipun disimpan
dalam waktu lama. Uniknya, akan lebih nikmat dimakan secara tradisional
dengan ‘sendok jari’ dan alas nasi beserta lauk pauknya tetap
menggunakan daun jati.
Sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa
pada nasinya, hanya nasi putih biasa yang harus didinginkan terlebih
dahulu beberapa jam, baru setelah itu dibungkus dengan daun jati. Ukuran
nasinya tidak terlalu banyak, hanya segenggaman tangan orang dewasa.
“Kalau dibungkus pada saat panas akan membuat nasi berubah menjadi
merah. itu yang kita tidak mau. Biasanya setelah nasi matang, langsung
dikipas dan diangin-anginkan dan hal ini bisa membuat nasi tahan lama,”
jelas Umar (40), pengelola Warung Nasi Jamblang Mang Dul yang ada di
Jalan Ciptomangunkusumo, Cirebon.
Warung Nasi Mang Dul ini menjadi
salah satu tempat favorit bagi orang Cirebon dan para pendatang dari
luar kota yang ingin mencicipi nasi jamblang. Setiap hari, sekitar pukul
06.00-08.00 pasti orang berjubel tengah menikmati nasi jamblang
sebagai sarapan pagi. Nanti ramai lagi sekitar jam makan siang,” tutur
Umar. Sejak sang ayah, Abdul Rojak, meninggal pada tahun 1994,
maka namanya diabadikan sebagai nama warung. Sejak tahun 1968 sang ayah
sudah berjualan nasi jamblang dengan cara dipikul dan berkeliling kota
Cirebon. “Dulu Bapak cuma menjual sekitar 50 bungkus sehari,” Umar
mengenang. Setelah mendapat bantuan kredit dari salah satu bank, Mang
Dul bisa mangkal di dekat kolam renang dan Stadion Gunungsari yang kini
menjadi pusat perbelanjaan Grage Mal.
Saat sang ayah berjualan,
lauk pauknya tidak sebanyak sekarang. Dulu hanya ada sembilan macam, di
antaranya tahu, tempe, daging, ati, oncom, sambal merah. Saat ini jumlah
lauknya ada 20 macam. Harga lauknya berkisar Rp 800-Rp 6.000. Meski
sambalnya berwarna merah, sama sekali tidak pedas. Karena terbuat dari
cabai merah besar lalu diiris tipis-tipis, bawang merah, serai,
lengkuas dan ditumis dengan minyak. Hanya makan dengan sambal saja,
bisa tambah nasi berkali-kali.
Selain Warung Mang Dul, masih di
sekitar Grage Mal, di Jalan Tentara Pelajar, juga berjajar warung nasi
jamblang serupa yang buka 24 jam. Ada sekitar enam warung tenda. Lauk
pauk yang dijual pun beraneka ragam. Warung itu juga menjual
makanan kecil seperti keripik, jajanan, buah-buahan yang dijual satuan.
Para pedagang ini rata-rata juga sudah berjualan puluhan tahun.
Dulunya para pedagang disini mangkalnya di areal kolam renang (Grage Mal_Red).
Kalau di sini ramainya siang dan malam hari. Biasanya para penjaga toko
dan pekerja malam cari makan di sini,” ujar Titin Kartini (57). Untuk
mempersiapkan semua lauk pauk, ia mempekerjakan empat tukang masak.
Selain Titin, anak pertamanya pun turut membuka warung yang sama
disebelahnya.
Percaya konsumen
Tidak
mudah memasak bermacam lauk dalam sehari, apalagi dengan permintaan
yang begitu banyak. Untuk itu di Warung Mang Dul diterapkan sistem masak
dalam dua shift. Pada pagi hari masak mulai pukul 09.00-19.00,
lalu malam hari masak mulai pukul 19.00-07.00. Untuk itu ada enam juru
masak yang membantunya. Memang kami masak tidak pernah berhenti. Karena selain untuk di sini, kami masih punya empat outlet lagi yang ada di aal,” jelasnya.
Meski
permintaan banyak, namun tidak membuat Umar sembarangan memasak
makanan. Ia mengaku, sangat ketat dalam pengawasan makanan.”Jangan
sampai pelanggan komplain, karena kita hanya memikirkan kejar setoran.
Kalau seperti ini kami bisa ditinggal pelanggan,” kata anak keempat dari
lima bersaudara ini. Untuk memenuhi kebutuhan daun jati,
persediaan didatangkan dari daerah Majalengka atau Subang, karena di
sana terdapat hutan produktif jati. Untuk menjaga kesegaran daun
tersebut, daun jati harus baru setiap hari. Yang dipilih adalah daun
jadi berusia dua minggu, yang masih lentur sehingga tidak robek saat
digunakan sebagai bungkus nasi.
Setiap hari Umar memasak satu
kuintal beras sedangkan di akhir pekan kalau akhir pekan bisa dua kali
lipat. Dari rekaman bukti bon yang ada di kasir, dalam sehari pengunjung
warung ini bisa mencapai 1.000 orang.Warung Nasi Jamblang Mang
Dul bisa bertahan karena rasa kepercayaan kepada para pelagganan. Pada
saat mengambil lauk, konsumen diperbolehkan memilih dan mengambil
sendiri lauk pauk yang diinginkan. Para pelayan hanya melayani
pengambilan nasi saja atau melayani orang yang ingin membawa pulang nasi
jamblang. Jadi ketika akan membayar, konsumen tinggal menyebutkan lauk
pauk apa saja yang telah disantap.
Ini juga pesan mendiang Bapak,
bahwa kita harus percaya kepada konsumen. Dan kami pun harus selalu
berpikir positif,” tandas Umar.. Sumber Wisata Kuliner
Baca juga Steak Ikan Hiu Sidoarjo
Post a Comment